Minggu, 20 November 2016

Nge-Google dengan keyword UNAIR

Aku bukan mahasiswa Unair (Universitas Airlangga). Aku adalah mahasiswa Unimed jurusan kimia semester 7. Insya allah jika diijinkan akan mengejar S-2 ke Unair.


Berhubung ada lomba “Unair Blog Kompetition” maka ini menjadi awal perkenalanku dengan kampus yang mungkin saja akan menerimaku sebagai mahasiswa pasca sarjana di sana. (Info lomba klik di sini)

Tema lomba tersebut bebas, tulisan santai tentang kampus Unair. Ataupun pengalaman selama di kampus Unair. Karena aku bukan mahasiswa Unair, dan belum pernah menginjakkan kaki di kampus tersebut. Maka, pengalamanku adalah dari searching di google dengan keyword "Unair"

Identitas Kampus : Universitas Airlangga (Unair) didirikan tanggal 10 November 1954 bertepatan dengan hari pahlawan yang ke-9. Rektor pertama kampus Unair yaitu Bapak Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo 1954 - 1961. Rektor ke 2 dst, silahkan cari sendiri. Udah mahasiswa kan? (haha)


Berdasarkan hasil penelusuranku dengan keyword “Unair” aku menemukan pengalaman yang sungguh luar biasa. Bikin greget!

Hal pertama yang aku search yaitu “Prestasi Mahasiswa Unair”  




Dan dalam pencarian itu, aku nyasar ke website Fpsi Unair, dan inilah yang aku temukan.

 
Kamu kepo dengan prestasi Fpsi Unair, sok silahkan klik di sini. Kalau kamu kepo banget dengan prestasi mahasiswa kampus tersebut, cari aja sendiri dengan keyword ‘Prestasi Mahasiswa Unair”

Udah mahasiswa kan? Haha.

Karena aku ada rencana untuk ngampus di kampus yang terletak di kota Surabaya ini. Maka, aku juga mencari dengan keyword “Biaya Hidup Mahasiswa Unair”

Dan sungguh luar biasa, biaya hidup di sekitaran Unair, berdasarkan hasil yang aku telusuri di berbagai situ, cukup murah.

Lihat aja list yang aku temukan ini.

:: Biaya Kos Perbulan: 200 ribu

:: Biaya Elektronik (laptop dan rice cooker): 50 ribu

:: Biaya makan 3x sehari (10 ribu) x 30 hari: 300 ribu

:: Biaya internet sebulan: 50 ribu

:: Biaya MCK plus keperluan pribadi: 100 ribu

:: Biaya Aqua galonan: 50 ribu

:: Fotokopi, print dan ATK: 50 Ribu

:: Beras: 50 ribu

:: Biaya tak terduga: 50 ribu


Biaya total sekitar 900 ribu perbulannya. Dan sangat bisa ditekan lagi hingga 700rb per bulan. Hehe

Relatif murah kan teman? Untuk makan lumayan elit lah, tiga kali sehari. Haha. Lauknya 10rb itu sudah dapat 1 ikan, 1 tempe, 1 ayam goreng.

Banyak lagi yang sudah aku searching. Hasil searching tersebut membuat aku semakin yakin untuk ngampus di sana. *Gombal. Haha

Dan satu lagi fakta uniknya, yaitu ternyata kampus Unair juga ada cerita horornya, Gan. Sangat menantang adrenalin untuk ngampus di Unair.

Contohnya

* Ada mitos bahwa di Fakultas Kedokteran Unair ada siluman naga. What! Apakah ada Angling Darma juga di sana? *Piss

* Ada sumur mayat di FK Unair pada ruang departemen Anatomi dan Histologi.

* Masih di fakultas yang sama. Ternyata FK horror banget yak! Konon kisahnya, pohon beringin yang terletak di depan ruang DR-1 di huni oleh makhluk halus berwujud tinggi besar, hitam, bermata merah dan bertaring seperti yang melekat pada sosok hantu genderuw

* Di ruang paduan suara, yang berdekatan dengan gedung FK juga katanya ada hantu posong, eh maksudnya pocong!!

* Dan yang terakhir (ini yang terakhir tertulis di sini, aslinya kurang tahu juga) di lorong farmasi juga dikenal horror, Gan. Mau tahu ceritanya? Ah! Nanti kamu gak percaya. Saran saya, kamu datang aja ke lorong tersebut sekitar jam 23.20 waktu setempat. Dan rasakan sensasinya! Biarkan lingkungan yang berbicara. Hahah *ketawahoror.

Itu saja seputar Unair. Kalau rekan-rekan mau tahu lebih detail tentang Unair, sok mangga datang ke Unair. Kalau gak ada ongkos, sok searching di google, seperti yang aku lakukan ini. Haha.

Dan inilah beberapa daftar alumni penting Unair!


Web resmi Unair klik di sini

Informasi lomba klik di sini


Sekian dan terima kasih.

#UnairTheBest

Sabtu, 09 Juli 2016

SEPASANG MERPATI DALAM SEBUAH CERITA

Image : m.vemale.com
Kita adalah sepasang merpati dalam cerita yang ditulis oleh pengarang tua itu. Pengarang yang hidupnya selalu sepi dan selalu dilanda kesedihan yang kita tahu sejak cerita tentang kita mulai ditulis. Kita tak tahu pasti apa yang menyebabkan ia kesepian dan selalu merasa sedih dalam hidupnya. Mungkin kesedihannya disebabkan oleh foto yang kini tergeletak di atas meja kerjanya. Foto seorang wanita berambut ombak yang tengah tersenyum, menggunakan gaun putih seperti dalam pesta ulang tahun dan membawa bunga mawar. Mungkin itu foto lama, karena sudah sedikit usang dan bingkainya mulai berdebu.

Setiap pagi, ketika pengarang tua itu terbangun dari tidurnya, ia akan menghampiri foto itu. Ia akan memandangi foto itu lekat-lekat dari ujung rambutnya, kemudian akan berhenti pada senyumnya, hingga akhirnya pengarang kita akan tersenyum, atau meneteskan air mata. Sesekali, ia juga akan memeluk foto itu seperti seorang ayah memeluk anaknya, atau lebih tepatnya seorang suami memeluk istrinya. Begitu juga ketika siang hari sebelum ia makan, sebelum mulai menulis, ataupun malam sebelum tidur, ia selalu memandangi foto itu dengan mimik yang hampir sama: tersenyum, atau meneteskan air mata.
Kita tak pernah mengerti benar, bagaimana sebuah foto bisa membuat seseorang merasa kesepian ataupun bersedih. Hingga suatu hari, diam-diam kita menyimpulkan bahwa wanita di foto itu adalah istrinya.

Merasa iba dengan nasib pengarang tua itu, kita berniat untuk menghiburnya agar ia tak kesepian ataupun bersedih lagi. Lalu kita membayangkan diri kita sebagai sesosok makhluk yang jenaka seperti badut misalnya, dengan hidung besar berwarna merah, dan muka yang menggemaskan. Lalu di depannya kita akan membuat sebuah pertunjukan sirkus yang tidak terlalu serius tetapi jenaka. Dan kita membayangkannya ketika pengarang tua itu tertidur pulas setelah sebelumnya ia menangis karena foto wanita yang kita simpulkan sebagai istrinya. Aku yang memulai mengatakan ide itu kepadamu sebelum kita membayangkan hal itu bersama-sama.

Namun, akhirnya kita sadar bahwa kita masih terkurung dalam cerita yang dibuat oleh pengarang tua itu. Lalu kita mengutuki diri kita sendiri karena tidak bisa membantu pengarang tua itu, dan kenapa pula pengarang itu menciptakan kita sebagai sepasang merpati dan bukan sepasang badut yang jenaka, atau sepasang badut pemain sirkus. Andaikan pengarang itu bisa secepatnya menyelesaikan kisah kita, mungkin ia akan menulis kita dalam tokoh cerita lain, dan kita berharap itu adalah cerita yang jenaka, dengan tokoh kita sebagai sepasang badut. Meskipun peluang ia membuat tokoh ceritanya sebagai badut adalah seperseribu bahkan seperjuta sekian, tapi apa salahnya jika kita berharap bahwa kemustahilan itu tak pernah ada dan yang ada hanyalah kepastian bahwa tokoh cerita yang akan ia buat setelah menyelesaikan cerita kita adalah badut yang lucu.

Pada suatu pagi, di hari minggu yang cerah, untuk pertama kalinya kita melihat pengarang tua itu tertawa setelah ia berbicara dengan seseorang lewat telepon. Kita berpikir ia mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dari seseorang yang meneleponnya, dan hal itu membuat ia melupakan kesedihannya.

”Sayang, hari ini tulisanku dimuat di media nasional yang aku impikan dari sejak awal aku mulai menulis. Dan siang nanti aku akan dikirimi bukti terbitnya, dan seminggu lagi tukang pos akan datang mengetuk pintu rumah kita membawa honor tulisanku. Aku bahagia sekali hari ini sayangku.”

Kita melihat ia mengelus foto istrinya, tawanya hilang lalu berganti air mata.

”Andai saja kau ada di sini bersamaku, pasti kau akan ikut bahagia. Kau akan meloncat-loncat seperti anak kecil, lalu kau akan mengajakku keluar untuk jalan-jalan dan pasti aku akan mentraktirmu makan di restoran impianmu.”

Pengarang tua itu kembali tenggelam dalam kesedihannya. Kita ikut terseret dalam kesedihan, dan aku melihat matamu berkaca-kaca yang membuat mataku juga ikut berkaca-kaca. Betapa kesedihan selalu berteman air mata.

Jam sebelas limabelas, seseorang mengetuk pintu rumahnya, dan ia cepat-cepat menghapus air matanya degan lengan bajunya, lalu bergegas mendekati pintu rumahnya. Di depan pintu ia mendapati seorang tukang pos telah berdiri dan menyodorkan sebuah koran nasional yang memuat tulisannya. Setelah menemukan halaman yang memuat tulisannya, dan menghempaskan lembaran koran lainnya yang ia anggap tidak penting, ia kembali mendekati foto istrinya.

”Lihat, ini dia korannya! Aku sudah menerimanya. Aku bahagia. Kau juga harus ikut bahagia di sana melihatku bahagia. Kau juga harus ikut tertawa seperti aku hari ini.”

Ia terus saja berkata dengan nada yang menggebu-gebu dan penuh kegirangan walaupun foto itu tak pernah mengucapkan kata ”selamat” kepadanya, hingga akhirnya ia kelelahan dan tertidur di atas meja menindih koran yang memuat tulisannya.

Satu minggu kemudian, ketika pengarang tua itu baru selesai makan dan memandangi foto istrinya, seseorang kembali mengetuk pintu rumahnya yang ternyata adalah tukang pos. Tukang pos itu menyodorkan sebuah amplop padanya dan ketika ia membukanya, amplop itu berisi sejumlah uang dan sepucuk surat pengantar untuk honor tulisannya.

Sore harinya, ia pergi meninggalkan cerita tentang kita sepasang merpati dan foto yang biasa ia pandangi dengan membawa isi amplop yang ia terima dari tukang pos, kecuali surat pengantarnya yang ia biarkan tergeletak di lantai. Kita tak pernah tahu ke mana pengarang tua itu pergi sore itu. Dan kita hanya tahu ia kembali tengah malam dengan langkah sempoyongan sambil meracau tidak karuan.

Ia menendang kursi, kaleng bekas makanan ringan, botol-botol bekas air mineral, dan meja kerjanya, hingga foto istrinya terjatuh dan kacanya pecah setelah menghantam lantai. Lalu ia melemparkan koran yang memuat tulisannya ke lantai dan menginjaknya dan ia memuntahkan isi perutnya di koran itu. Ia tergeletak, lalu berguling-guling di atas muntahannya. Kita begitu waswas kalau-kalau pengarang tua itu melemparkan tulisan tentang kita yang ada di atas meja kerjanya lalu menginjak-injaknya sebagaimana yang ia lakukan pada koran yang memuat tulisannya. Tapi untungnya ia tidak melakukannya, dan kita merasa bersyukur.

Esok paginya, setelah ia sadar dan mendapati foto istrinya tergeletak di lantai dengan bingkai yang berantakan, ia mencabut foto itu dari bingkainya lalu mendekapnya erat-erat dengan tanpa henti air matanya terus menetes. Dan kesedihannya semakin menjadi-jadi ketika ia mendapati koran yang memuat tulisannya telah kotor dan rusak oleh muntahannya sendiri.

Kita hanya menjadi penonton dan kembali ikut tenggelam dalam kesedihan. Kita mengutuki kesedihan-kesedihan itu sebagai sesuatu yang lebih menyakitkan dari kematian. Dan dalam kesedihan itu, kita berharap pengarang tua itu segera menyelesaikan cerita tentang kita, sepasang merpati dan kembali menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut yang jenaka.

Kadang-kadang sesuatu yang kita inginkan bisa saja menjadi kenyataan. Terbukti, di suatu pagi yang mendung setelah sekian lama ia tenggelam dalam kesedihan karena selembar foto, pengarang tua itu kembali menulis dan melanjutkan cerita tentang kita. Harapan kita agar penulis tua itu menulis cerita yang baru dengan tokoh sepasang badut yang jenaka sedikit demi sedikit akan menuju pada kenyataan. Walaupun apa yang kita harapkan belum tentu menjadi kenyataan.

Kita selalu berharap sesuatu yang terbaik untuk pengarang tua itu, tetapi kita tak pernah berpikir tentang nasib kita dalam cerita yang sedang ditulisnya. Pengarang tua itu menceritakan kau mati ditembak oleh seorang pemburu saat kita sedang asyik bertengger di sebuah pohon kamboja sambil bercakap-cakap tentang masa depan yang bahagia. Jantungmu pecah setelah tertembus isi senapan, dan tubuhmu meluncur ke tanah. Aku terbang menyusul tubuhmu yang meluncur tanpa kendali. Aku tak tahu harus melakukan apa saat itu. Menerbangkanmu ke tempat yang jauh dan mengobati lukamu sambil berharap kau hidup lagi, menyerahkan diri pada pemburu itu agar ditembak dan segera menyusulmu, atau melawan pemburu itu dengan segenap tenagaku? Tetapi cerita berkehendak lain. Isi kepala pengarang tua itu berbeda dengan isi kepalaku. Dia malah menceritakan aku menangis tersedu-sedu di samping tubuhmu yang tak bernyawa tanpa melakukan sesuatu yang lebih berharga daripada sekadar menangis. Saat pemburu itu mendekat, ia malah menceritakan aku terbang menghindari sang pemburu. Betapa bodohnya pengarang yang selalu bersedih karena selembar foto itu. Kenapa ia tidak menceritakan kalau aku mati bersamamu ditembak pemburu itu.

Setelah kematianmu, pengarang tua itu menceritakan diriku pergi ke tengah hutan yang sepi dan aku tinggal di sebuah pohon yang jauh di tengah hutan yang tak bisa dijamah oleh para pemburu. Di sana aku semakin tenggelam dalam kesedihan dan menyesal telah meninggalkanmu dan membiarkan pemburu itu melumat habis tubuhmu menjadi santapan yang enak baginya. Sungguh pengarang yang bodoh.

Dan parahnya, pengarang tua itu malah meninggalkan cerita tentangku begitu saja. Ia berubah menjadi pemurung dan tubuhnya semakin ceking. Kemudian disusul dengan batuk yang seirama gonggongan anjing, dan ia menghabiskan hari-harinya di atas tempat tidur.

Hingga akhirnya pengarang tua itu tak pernah beranjak lagi dari tempat tidurnya, yang kemudian disusul dengan bau busuk yang menguar di seluruh ruangan. Suatu sore orang-orang masuk ke kamar itu setelah bersusah-payah mendobrak pintu dan mendapati tubuh ceking pengarang tua itu telah dimakan ulat.

Sepeninggal pengarang tua itu, aku benar-benar kesepian dan selalu berharap ada seseorang yang menemukan cerita ini dan membebaskan aku dari kesedihan. Karena setelah kematian pengarang tua itu, tidak ada seorang pun yang datang ke rumah ini, selain seekor anjing borok yang selalu berteduh ketika hujan.

Suatu hari dalam keputusasaan, tiba-tiba tebersit dalam pikiranku bahwa kisah kita adalah kisah hidup pengarang tua itu yang ditulisnya dengan tokoh sepasang merpati.

Penulis bernama lengkap I Putu Supartika lahir di Karangasem, Bali, tanggal 16 Juni. Sekarang sedang menempuh pendidikan di Undiksha (Universitas Pendidikan Ganesha, Singaraja) Jurusan Pendidikan Matematika, e-mail: putu.supartika@gmail.com.

(Sumber: harian Kompas edisi 3 Juli 2016, halaman 20 dengan judul "Sepasang Merpati dalam Sebuah Cerita.")

Kepingan Masa Lalu


Menatapnya bersama gadis lain. Berjalan beriringan menyusuri koridor kelas menuju gerbang sekolah. Aku hanya memandang tanpa kedip. Merasakan sisa-sisa kepedihan dalam penghianatan. Tapi aku yakin, gadis yang bersamanya itu hanya untuk memanasiku. Membuatku muak dan memaksaku melupakan tentangnya.

Obrolan singkat tak lupa ada diantara keduanya. Saling berucap salam. Lantas salah satu diantara keduanya pulang duluan. Sedang satunya menunggu jemputan.

Biasanya aku yang menatapnya bahagia . Mencuri pandangnya dari jarak sekitar tiga meter. Kala dia duduk menunggu mama ataupun kakaknya menjemput. Tapi sejak saat itu, semua berubah. Hanya tatapan nanar yang tercipta di mata.

Setelah itu, tak lama dia menghilang dari jejakku. Aku hanya menunggu. Berharap ia ingat pada sosokku. Namun, sia-sia sudah. Dia benar-benar melupakanku. Bahkan meng-upload foto dengan gadis waktu itu. Berdua. Ah, kasihan sekali aku. Makhluk penunggu.

Tak lama, dia memang hadir, tapi hadir untuk mengatakan salam perpisahan. Lantas pergi sejauh-jauhnya. Tanpa kabar. Nomor teleponnya juga sudah diganti.

Hingga pada saat aku sakit. Aku mengabarinya melalui sosmed. Berharap sekedar semangat muncul dari katanya. Justru sebaliknya. Menambah luka di dada.

"Hai, Aku sakit. Minta doanya biar segera sembuh." Tulisku di inbox dengannya.

"Kau ini, lupakan saja aku. Biar dirimu segera sembuh. Jangan pikirkan aku lagi." Jawabnya dengan enteng.

"Tapi semua ini sulit untukku. Tidak sepertimu dengan mudahnya," ujarku menimpali.

"Tinggalkan saja semua jejak kita. Hapus semua yang masih ada. Sudah. Mudah bukan?" Katanya seoalah dengan kebencian.

Aku menyerah. Melepas segala harapan yang masih ada. Hingga ketika lulus sekolah, aku putuskan pergi dari rumah. Berpindah tempat. Merantau. Bahkan buku diary selama dua tahunpun aku bakar.  Menutup segala luka.

Beberapa bulan aku kembali temukan kebahagiaan. Bersama kawan-kawan baru di duniaku. Kenangan-kenangan lama masih terawat. Kuacuhkan agar tak merusak kebahagiaan. Bersamaan saat itu pula, tiba-tiba dia hadir. Membawa kabar, mengajakku kembali seperti dulu. Bersahabat baik. Saling melengkapi. Terlambat sudah. Hatiku telah membatu. Aku punya harga diri. Dulu aku mengemis kasih sayangnya. Tak sedikitpun hatinya tergerak. Maka aku juga melakukan hal sama padanya. Bukan karena dendam, tapi aku cukup tahu bagaimana permainanya.

"Lupakan saja tentang aku, sebagaimana kau dulu menyuruhku melupakanmu," ujarku tegas padanya.

Penulis : Dee

Bersikap Positif dan Berkorban untuk Meraih Kebaikan


Seorang pria tersesat di gurun pasir. Ia hampir mati kehausan. Akhirnya, ia tiba di sebuah rumah kosong. Di depan rumah tua tanpa jendela dan hampir roboh itu, terdapat sebuah pompa air. Segera ia menuju pompa itu dan mulai memompa sekuat tenaga. Tapi sayangnya, tidak ada air yang keluar.

Lalu ia melihat ada kendi kecil di sebelah pompa itu dengan mulutnya tertutup gabus dan tertempel kertas dengan tulisan,”Sahabat, pompa ini harus dipancing dengan air dulu. Setelah Anda mendapatkan airnya, mohon jangan lupa mengisi kendi ini lagi sebelum Anda pergi.” Pria itu mencabut gabusnya dan ternyata kendi itu berisi penuh air.

“Apakah air ini har
us dipergunakan untuk memancing pompa? Bagaimana kalau tidak berhasil? Nanti tidak ada air lagi. Bukankah lebih aman kalau saya minum airnya dulu daripada nanti mati kehausan kalau ternyata pompanya tidak berfungsi? Untuk apa menuangkannya ke pompa karatan itu hanya karena instruksi di atas kertas kumal yang belum tentu benar?” Begitu pikirnya.

Untung suara hatinya mengatakan bahwa ia harus mencoba mengikuti nasihat yang tertera di kertas itu, sekali pun itu berisiko ia akan menderita kehausan. Ia menuangkan seluruh isi kendi itu ke dalam pompa yang karatan itu dan dengan sekuat tenaga memompanya.

Benar saja! Air keluar dengan melimpah. Pria itu pun minum sepuasnya.

Setelah istirahat memulihkan tenaga dan sebelum meninggalkan tempat itu, ia mengisi kendi itu sampai penuh, menutupkan kembali gabusnya dan menambahkan beberapa kata di bawah instruksi pesan itu: “Saya telah melakukannya dan berhasil. Engkau harus mengorbankan semuanya terlebih dahulu, sebelum bisa menerima kembali secara melimpah. PERCAYALAH!

Cakrawala Kematian

 
Salah satu hal tersulit yang bisa kita lakukan adalah melepas orang yang begitu kita cintai menuju kematian. Cerita berikut ini bisa membantu.

Pada masa-masa sebelum adanya pesawat terbang yang andal, kebanyakan orang bepergian dari benua ke benua dengan kapal penumpang besar lintas samudra. Saat kapal hendak berlayar, para penumpang akan berbaris di dek kapal, di sisi dermaga di mana keluarga dan sahabat mereka berdiri.

Tatkala sirine uap berbunyi menandakan keberangkatan, mereka yang di atas kapal dan mereka yang di dermaga melambai, memberikan ciuman dari jauh, dan meneriakkan salam perpisahan sembari kapal perlahan menjauh. Tak lama, kapal itu terlalu jauh bagi mereka yang di dermaga untuk membedakan siapa-siapa di jajaran para penumpang yang masih berdiri di dek, namun mereka masih melambai dan memandang.

Beberapa menit kemudian, perahu itu bahkan terlalu jauh untuk bisa melihat kerumunan penumpangnya, namun masih saja orang-orang yang mengasihi akan tetap di dermaga menatap kapal yang kian melenyap, dimana orang yang mereka cintai berada.

Kemudian kapal akan mencapai suatu garis pembatas cakrawala, lalu lenyap sama sekali. Namun, walaupun keluarga dan kawan di daratan tidak bisa melihat orang yang mereka kasihi lagi, apalagi bicara atau menyentuh mereka, mereka tahu bahwa orang yang mereka kasihi tidak lenyap sepenuhnya. Mereka hanya pergi melintasi suatu garis, cakrawala, yang memisahkan kita dari yang nan jauh disana. Mereka tahu bahwa mereka akan berjumpa lagi.

Hal yang sama bisa dikatakan tatkala orang yang kita cintai meninggal. Jika kita beruntung, kita berada di sisi pembaringan mereka, memeluk mereka, dan mengucap salam perpisahan terakhir. Kemudian mereka berlayar menuju samudra, yaitu kematian. Mereka makin memudar dari kita.

Pada akhirnya,mereka mencapai cakrawala, garis pembatas yang memisahkan kehidupan ini dengan yang di luar sana. Setelah mereka melewati garis itu, kita tidak bisa melihat mereka lagi, apalagi bicara atau menyentuh mereka, namun kita tahu bahwa mereka belum lenyap sama sekali.

Mereka hanya melewati suatu garis, kematian, yang memisahkan kita dari yang di luar sana. Kita akan bertemu satu sama lain lagi.

Jangan Berhenti di Tengah Badai

Image : repulika.co.id
Pada suatu hari, ada seorang anak yang sedang berkendara dengan ayahnya. Seperti biasanya mereka bekendaraan menuju ke suatu tempat. Dan si anak yang mengemudikan mobil .

Setelah beberapa puluh kilometer, tiba-tiba awan hitam datang bersama angin kencang. Langit menjadi gelap. Terlihat beberapa kendaraan mulai menepi dan berhenti.

"Bagaimana Ayah? Kita berhenti?" Si anak bertanya.

"Teruslah mengemudi!", kata sang Ayah.

Si anak tetap menjalankan mobil mengikuti perintah ayahnya. Langit makin gelap, angin bertiup makin kencang. Hujanpun turun dengan derasnya .

Beberapa pohon besar bertumbangan, bahkan ada pohon-pohon kecil yang diterbangkan angin. Suasananya sangat menakutkan. Banyak kendaraa-kendaraan besar juga mulai menepi dan berhenti.

"Ayah...?"

"Teruslah mengemudi, tingkatkan perhatian dan ekstra hati-hati!" Kata sang Ayah sambil terus melihat ke depan. Si Anak tetap mengemudi dengan bersusah payah. Hujan lebat menghalangi pandangan sampai hanya berjarak beberapa meter saja. Anginpun mengguncang-guncang mobil kecil itu. Si Anak mulai merasa takut. Tapi dia tetap mengemudikan mobil sesuai perintah ayahnya walaupun sangat perlahan.

 
Setelah melewati beberapa kilometer ke depan, terasakan hujan mulai mereda dan angin mulai berkurang. Setelah beberapa killometer lagi, sampailah mereka di tempat yang kering dan mereka melihat matahari bersinar muncul dari balik awan.

"Silakan kalau mau berhenti sekarang dan keluarlah", kata sang Ayah tiba-tiba..

"Kenapa sekarang?" Tanya si anak terheran-heran.

"Tengoklan kebelakang agar engkau bisa melihat dirimu seandainya engkau tadi berhenti di tengah badai dan angin ribut itu ".

Si anak berhenti dan keluar dari mobil, lalu dia menengok jauh ke belakang, di sana badai masih berlangsung. Si anak lalu membayangkan bila mereka berhenti dan terjebak, segera diapun berdoa untuk mereka yang masih terjebak di sana semoga mereka selamat.

Dan disinilah si anak mengerti dan menyadari bahwa jangan pernah berhenti di tengah badai karena akan terjebak dalam suatu ketidakpastian dan ketakutan yang sangat , karena kita tak akan tahu kapan badai akan berakhir serta apa yang akan terjadi selanjutnya, lebih baik segera jauhi badai itu sebisa mungkin.

Ibaratnya jika kita sedang menghadapi "badai" kehidupan, maka teruslah berjalan, teruslah berusaha . jangan pernah berhenti, jangan pernah putus asa karena bila tidak maka kita akan tenggelam dalam keadaan yang terus kacau, menakutkan dan penuh ketidak-pastian. Bagaikan Anda berada di tengah-tengah Badai yang sesungguhnya

Terkadang, kita lupa bahwa Allah (itu) Maha Penolong

Image : Pelita Hidup

Tidak kurang dari 10 ribu sel sperma dihasilkan alat reproduksi pria setiap harinya. Di sana benih manusia dirancang sedemikian rupa, supaya sel teramat kecil itu berhasil mengarungi perjalanan mencapai tujuan, sel telur di rahim perempuan.

Sel yang teramat kecil itu diproduksi seakan pesawat di pabrik-pabrik perakitan modern. Bagian ekor dibuat untuk menimbulkan gaya gerak dorong dengan perbuatannya, bagian tengah merupakan mesin penggerak ekor itu, dan bagian kepala yang dilapisi berbagai bahan kimia tahan racun berisi benih manusia yang mengandung miliaran informasi sifat manusia yang akan ditumbuhkan olehnya. Sel berekor itu disertai cairan gula sebagai bahan bakar untuknya terus berjalan dan berenang.

Semua bagian sel mani dan perlengkapannya itu dirancang karena perjalanan dan rintangan yang akan ditempuhnya cukup berat. Pada alat reproduksi perempuan, tempat di mana sel sperma itu nanti akan berenang, terdapat begitu banyak cairan asam, yang berguna sebagai pembunuh bakteri yang senantiasa mengancam kesehatan saluran kelahiran. Asam itu bisa mematikan, yang karenanya bisa mematikan pula bagi sperma. Namun berkat basa yang disiapkan di bagian kepala sperma, asam-asam itu berhasil dinetralkan.

Siapa perancangnya? Siapa yang sudah menyiapkan segala perangkat sel sperma yang begitu lengkap dan sempurna? Karena bukan alat reproduksi itu sendiri yang merancang juga bukan pula orang yang memilikinya, maka mau tak mau harus mengakui sang perancang itu Allah Pencipta semesta alam.
Allah menciptakan sel sperma dan dengan pengetahuannya memberi perlengkapan sperma itu agar sukses menggapai tujuannya yaitu membuahi sel telur.

Dari tulisan karya Harun Yahya keajaiban itu saya baca. Di sini kembali menguraikannya, sekedar mau mengajak pembaca mentafakuri satu hal, jika hal serumit dan seluarbiasa itu sanggup Dia lakukan, maka apa susahnya menyelesaikan masalah kita?

Biasa kita baca pada ayat kursi. "Dan tidak pernah lelah mengurus keduanya, langit dan bumi, dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Agung."

Itu ayat sangat indah. Isinya penuh dengan pesan kasih sayang. Dia nyatakan sendiri sifat Dia yang, tidak pernah lelah sedikit pun mengurus langit dan bumi, supaya jangan pernah segan minta tolong sama Dia. Seakan kita dengar Dia berkata, lihatlah, mengurus langit bumi saja yang bagi manusia begitu besar tidak lelah, maka apalagi menyelesaikan urusah manusia yang hanya apalah-apalah.

Seringkali saya dapatkan masalah, akan tetapi saat hendak minta bantuan orang lain kita merasa segan. Khawatir merepotkan. Takut orang itu sedang banyak pekerjaan. Misalnya saat ban motor bocor di perjalanan, masuk bengkel, padahal sudah hak saya masuk bengkel menyatakan mau nambal ban, tapi jika melihat tukang bengkel sedang kerepotan dengan pekerjaannya, segan rasanya menyatakan minta bantuan sebelum ditanya.

Atau misalnya saat ada masalah usaha, mau minta bantuan biaya kepada orang tua, segan rasanya, mengingat Bapak pun sama, dia pun punya banyak beban: dia punya banyak utang, biaya keperluan makan, iuran listrik, dan masih banyak. Terasa segan minta bantuan kepada manusia karena sifat dasar mereka memang sama seperti kita, tak mau direpotkan. Tapi Allah...

Tapi Allah tidak, justru Dia sendiri menyatakan, Dia tidak sedang kerepotan. Silakan minta bantuan, silakan minta pertolongan.

Penulis : Dana

MEMASUKKAN NILAI BUDAYA LOKAL (LOCAL GENIUS) DALAM KARYA

image : p-wec.org

Salam Seni dan Budaya
Selamat pagi dan salam sejahtera kepada semuanya...

Mari kita berdiskusi, sharing, dan belajar bersama...

PENDAHULUAN

Definisi seni jika ditinjau dari berbagai sudut pandang memiliki banyak makna, satu di antaranya adalah “seni merupakan pengekspresian cipta rasa manusia dalam suatu karya yang dapat dikatakan unik”. Seni merupakan sinonim dari ilmu, karena pada mulanya seni merupakan sebuah proses dari manusia. Seni merupakan inti sari dari ekspresi dan kreatifitas manusia. Jakob Soemardjo menyatakan bahwa seni memiliki enam pandangan tentang apa yang seharusnya diwujudkan dalam seni, yaitu:
1. Seni itu representasi sikap ilmiah atas kenyataan alam dan kenyataan sosial,
2. Seni merupakan representasi general dari alam dan manusia umumnya,
3. Seni adalah representasi karakteristik general dalam alam dan manusia yang dilihat secara obyektif,
4. Seni adalah representasi bentuk ideal yang melekat pada alam kenyataan dan alam pikiran manusia,
5. Seni merupakan representasi bentuk ideal yang transcendental (homo relegius), dan
6. Seni adalah representasi dunia seni itu sendiri (seni untuk seni).
(Jakob Soemardjo: Filsafat Seni, 2000)

Semua bentuk seni—sastra, tari, vocal, rupa, dan drama—merupakan wujud dari pencarian dan pengekspresian diri manusia selama berabad-abad bahkan semenjak manusia diciptakan pertama kali. Seni merupakan sebuah puncak kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh manusia dalam kehidupan di dunia.  

PEMBAHASAN

Peradaban memiliki makna sikap, tingkah laku, serta tatanan masyarakat (manusia) yang tahu, paham, mengerti, dan melaksanakan ‘adab’ tata krama kepada alam, tumbuhan, hewan, sesama manusia, dan Tuhan. Puncak dari seni adalah drama. Drama memiliki unsur-unsur yang merangkum seluruh bidang seni yang ada, yaitu:  1) Sastra berupa naskah;  2) Gerak berupa tari dan pergerakan aktor;  3) Rupa berupa artistik panggung dan properti pementasan;  4) Suara berupa dialog aktor;  5) Musik berupa ilustrasi/musik pengiring. Hakekatnya setiap manusia (individu) adalah seorang seniman yang tentu saja porsinya berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Setiap orang pasti menyukai dengan keindahan, kerapian, serta segala sesuatu yang dapat membuat dirinya nyaman, gembira, dan diakui keberadaannya.

Pertanyaan terbesarnya: Kenapa tidak semua orang menjadi penulis, penyair, pelukis, maupun bidang seni lainnya? Akan ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, tentu saja disesuaikan dengan pendapat, pemahaman, tingkat pendidikan, serta wawasan tiap individu. Jawaban paling umum yang dapat dan sering didengar adalah: “Saya tidak berbakat, Saya tidak bisa, Saya tidak tahu, dan sejenisnya.”  Padahal ketika kecil, semua orang pasti suka menggambar, menyanyi, menari, dan bercerita dengan bebas sesuai perasaan yang dialaminya. Kebiasaan itu menghilang ketika manusia mulai mengenal dunia luar dirinya. Secara tidak sadar tiap individu menggunakan alat ukur ‘kesuksesan orang lain’ dalam mengukur dan menakar kemampuannya sendiri. Kesuksesan dan keberhasilan orang lain menjadikan diri sendiri silau dan takjub, sehingga lupa bahwa sebenarnya kita juga bisa. Hal ini lambat laun akan menjadi virus yang menyumbat kreatifitas individu. 

Menulis merupakan satu dari empat keterampilan berbahasa yang tentu saja membutuhkan pembiasaan secara terus menerus. Menulis memiliki banyak dimensi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Menulis merupakan ‘out put’ atau hasil dari proses pengamatan, pembacaan, pendengaran, dan perenungan (berpikir). Menulis bisa diibaratkan dengan ‘buang air besar’, yang mana tidak mungkin seorang manusia akan buang air besar jika tidak pernah memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Lalu apa yang harus dimasukkan ke dalam tubuh untuk menghasilkan tulisan? Rainer Maria Rilke dalam ‘Suratnya Kepada Penyair Muda’, yang diterjemahkan oleh Sutardji Calzoum Bachri memberikan sebuah renungan yang menarik.    
……
Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk ke dalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal;
……

Penggalan surat di atas, jelas memberikan dua hal penting yang harus dipahami oleh siapa saja yang ingin dan mau menulis, yaitu:
1. Masuk ke dalam diri
Kekayaan terbesar manusia yang sebenarnya adalah kenangan dan pengalaman-pengalaman masa kecil, segala sesuatu yang dia alami ketika kecil. Semua hal yang terjadi pada masa kanak-kanak—entah bernilai baik maupun buruk—semuanya merupakan gudang tempat menggali kekayaan diri pribadi yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, dan bentuk serta rasanya berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Keadaan (kehidupan) kita saat ini bisa jadi adalah bentuk dan perwujudan kita di masa lampau, tetapi juga sangat bisa merupakan kebalikan dari apa yang kita bayangkan, impikan, dan kita inginkan di masa lalu. Semua itu adalah harta karun terpendam yang jarang sekali kita sadari, bahkan kita selalu berusaha untuk melupakannya (karena beberapa alasan tertentu).   Kenangan masa kanak-kanak, yang bernilai baik maupun buruk, merupakan sebuah bahan yang sangat luar biasa bagusnya. Kenangan baik maupun buruk itu bisa saja menjadi sebuah nasehat dan cermin bagi orang lain ketika kita menuliskannya dalam bentuk apapun—sajak, cerpen, novel, maupun naskah drama.  Semua orang pasti memiliki kenangan, pengalaman, dan hal-hal lain di masa kanak-kanak, maka sudah pasti setiap orang bisa menulis.
2. Mendekati alam, menggali ke tempat kehidupan berasal Selama ini kita terlalu sering—sangat sering—melihat ke luar diri. Melihat ke kejauhan sehingga kita lupa dengan apa yang ada di bawah telapak kaki kita sendiri.  Kita selalu terkagum-kagum, takjub, bahkan memuja-muja segala sesuatu yang berasal dari luar diri kita, sehingga kita tidak pernah berniat untuk melakukannya sendiri. Kita terlalu silau dengan hal-hal, pencapaian, dan karya orang lain, sehingga kita lupa untuk berbuat, dan menghasilkan karya yang bisa saja menyamai atau bahkan melebihi hasil yang dicapai oleh orang lain. Hampir semua hal yang kita lakukan saat ini merupakan hal-hal yang melupakan hakikat kedirian kita sendiri. Cara berpikir, sudut pandang pemikiran, sumber pengetahuan, metode pembelajaran, cara hidup, dan cita-cita hidup kita lebih banyak menjauh dari keberadaan diri sendiri. Kita lebih memilih untuk berpedoman pada akar nilai kehidupan yang berasal jauh dari kehidupan kita sendiri. Nilai-nilai yang ada di sekeliling kita—adat istiadat, budaya, pitutur luhur, pepatah, norma, dan hal-hal baik lainnya—yang telah diwariskan oleh leluhur kita menjadi sebuah komoditi yang ‘seolah-olah’ ketinggalan jaman, tidak modern, bahkan terbelakang. Berapa banyak orang luar yang begitu terpesona, begitu tertarik, bahkan iri dengan kekayaan adat istiadat, budaya, dan segala hal yang diwariskan oleh leluhur kita? Sebagai misal: Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Singapura menyediakan waktu dan jam khusus untuk kurikulum karawitan dan bahasa Indonesia dalam jenjang pendidikan dasar mereka, sedangkan di negara kita belum ada satupun yang berani menerapkan hal tersebut.   

Sepanjang sejarah manusia ada tiga hal yang ingin dicapai oleh manusia, yaitu: 1) Kebenaran (truth), 2) Kebaikan (goodness), dan 3) Keindahan (beauty). Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh untuk menjadikan hidup manusia bermakna. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa ‘Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, serta efisiensi managemen pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan diwujudkan melalui program Wajib Belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga, agar mempunyai daya saing dalam menghadapi tantangan global.’

Hal ini jelas memberikan sebuah koridor yang menarik kepada siapa saja yang termasuk warga Negara Indonesia untuk terlibat secara aktif maupun pasif dalam turut serta menyukseskan proses ‘olah hati, olah pikir, dan olah rasa’ sehingga setiap manusia Indonesia menjadi utuh sesuai karakteristiknya masing-masing. Olah hati, olah pikir, dan olah rasa merupakan bagian dari nilai-nilai estetika manusia, yang telah ada dan merupakan fitrah manusia. Tanpa estetika, hidup akan menjadi kering, hampa, bahkan tidak bermakna. Belajar estetika hakikatnya adalah belajar tentang nilai-nilai luhur dan menemukan nilai-nilai luhur dalam kehidupan.
Belajar estetika akan memberikan manfaat antara lain:
1. Memperdalam tentang rasa indah pada umumnya dan kesenian pada khususnya,
2. Memperkokoh rasa cinta pada seni dan budaya bangsa pada umumnya dan mempertajam kemampuan mengapresiasi, menghargai kesenian dan budaya,
3. Memupuk kehalusan rasa dalam diri manusia,
4. Memperkokoh keyakinan dalam masyarakat dalam kesusilaan, moralitas, peri kemanusiaan, dan ketuhanan,
5. Melatih diri untuk berdisiplin dalam cara berpikir dan mengatur pemikiran dengan sistematik, membangkitkan potensi untuk berfalsafah, yang akan memudahkan dalam menghadapi permasalahan, memberikan wawasan yang luas sebagai bekal bagi kehidupan spiritual dan psikologis. (AAM Jelantik, Estetika: Sebuah Pengantar, hal. 13-14, 1999)

Sejalan dengan pemikiran di atas, tujuan pendidikan ekspresi estetis ialah membimbing pertumbuhan pribadi manusia, di samping membuat harmonis kepribadiannya dalam kelompok sosial. Hal ini seiring dengan hakikat pendidikan estetis yang memiliki fungsi:
1. Menjaga dan memelihara kemampuan segala macam persepsi dan sensasi,
2. Mengkoordinasikan berbagai cara persepsi dan sensasi, antara yang satu dengan yang lainnya dalam hubungannya kepada lingkungan,
3. Mengekspresikan perasaan dalam bentuk yang dapat dikomukasikan,
4. Mengekspresikan dalam wujud bentuk dari segala macam pengalaman mental.
(Katjik Sutjipto, Seni Rupa Sebagai Alat Pendidikan, 1973)

Di tinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifat-sifat imajinasi dan permainan yang melekat dalam seni menegaskan suatu kebebasan berkhayal dan bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang ‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau displin ketat tanpa hati nurani. Disiplin seni adalah system yang akan membawa kebanggan dan keanggunan jasmaniah dan rohaniah.  Pada perkembangan jaman global saat ini, ada dua sisi dilematis yang sulit diakomodasikan antara seni dan kehendak umum. Di satu sisi adalah kuatnya minat masyarakat (lokal dan global) terhadap pentingnya memahami budaya local dan nilai-nilai yang dikandungnya, dan di sisi lainnya adalah tuntutan dari system pendidikan, cara pandang, pola pikir, dan kepentingan dunia global yang menempatkan seni dan budaya sebagai hal yang terpinggirkan. Berapa banyak orang tua yang rela mengeluarkan biaya yang mahal untuk mencetak anaknya menjadi manusia yang cerdas dalam bidang eksakta? Dan berapa banyak orang tua yang peduli ketika melihat anaknya tidak bisa berbahasa daerah dengan baik dan benar? Hal ini jelas merupakan dua sisi mata uang logam yang saling berbenturan di dalam masyakarat yang semakin terbanjiri oleh informasi dan kecanggihan tekhnologi. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan begitu banyaknya seni dan budaya yang ada, tumbuh, berkembang, dan memiliki ke-khasan masing-masing sesuai dengan daerah lingkungan alam dan sosialnya tercerabut dari akarnya dan tumbang satu per satu.   

B. NILAI LUHUR BUDAYA LOKAL
Harus diakui bahwa bahwa sistem pendidikan, metode berpikir, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia sekarang adalah warisan kolonial yang berdasarkan peresepsi Eropa-Barat, walaupun materinya berbeda. Secara tidak disadari hampir keseluruhan ‘budaya’ manusia Indonesia modern adalah budaya yang kehilangan akar bahkan tercerabut dari nilai-nilai luhur budaya aslinya.  Akibatnya jelas, budaya yang ada adalah budaya yang mengambang tanpa bentuk, budaya pop, dan suka meniru (budaya konsumtif dan imitative). Dasar budaya lokal Indonesia yang berakar pada kenyataan di lapangan—daerah masing-masing, tipografi alam, dan kultur sosial masyarakat—merupakan kebalikan dari budaya Eropa-Barat yang mengedepankan logika. Seni merupakan produk dari budaya yang ada, tumbuh, berkembang, dan diterapkan dalam masyarakat. Seni yang demikian tidak mungkin sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, serupa mungkin iya. Hal inilah yang seharusnya disadari dan digali oleh siapa saja yang mengaku sebagai bagian dari masyarakat. Budaya-budaya lokal dengan nilai-nilai luhurnya adalah sumber yang sangat kaya dan menunggu untuk dieksplorasi oleh kita. Mitos, legenda, cerita rakyat, dongeng, upacara adat, petuah, pitutur, dan ritual-ritual lainnya yang ada di sekeliling kita, yang ada di lingkungan kita, yang ada di tiap-tiap desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota adalah samudera ide yang tidak akan ada habisnya untuk digali, ditelaah, dikaji, dan dieksplorasi untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk karya—tulis/sastra, gerak, suara, rupa, musik,drama, dll—yang tentu saja diberikan sentuhan kreatifitas dari tiap masing-masing penulisnya, sehingga karya-karya tersebut tetap mencerminkan kekuatan nilai-nilai luhur budaya lokal masing-masing dan sesuai dengan alam serta budaya saat ini.  

C. AMATI, ANALISIS, dan ADAPTASI
Ada banyak metode dan cara untuk menulis dan menuangkan ide yang berasal dari nilai-nilai budaya local. Satu rumusan yang paling mudah adalah prinsip 3A, yaitu:
1. Amati
Tiap daerah, lingkungan, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan suku memiliki nilai-nilai luhur budayanya sendiri yang terkadang lepas dari pandangan kita. Amati dengan seksama apa yang disediakan lingkungan, daerah, dan tempat kita tinggal. Tampung semua informasi yang dilihat dan didengar tanpa harus memberikan penilaian apapun. Cari segala bentuk budaya yang pernah ada, ada, tumbuh berkembang, dan menjadi ciri khas—legenda, cerita rakyat, mitos, sejarah, upacara adat, petuah, pitutur, dll—yang seringnya tidak kita sadari keberadaannya. Kumpulkan informasi-informasi tersebut, dan lakukan pencatatan untuk memudahkan kita menyusunnya kembali menjadi tulisan yang lebih rinci.
2. Analisis
Setelah semua informasi tersebut kita dapatkan, pilah dan pilih informasi-informasi tersebut ke dalam beberapa tema dan subtema. Misalnya: Legenda, Mitos, Upacara adat, dll. Lakukan analisis dengan merenungkan semua informasi tersebut dengan hati dan pikiran yang terbuka, tanpa harus memberikan penilaian baik buruk. Berikan apresiasi dengan wajar tanpa melibatkan ego dan kepentingan pribadi terhadap informasi-informasi tersebut. Kita harus berani mengakui dan memberikan penghargaan pada informasi-informasi tersebut karena kita sendiri belum tentu bisa menciptakan hal yang sama seperti halnya apa yang telah kita dapat dari informasi tersebut. Keberanian untuk memberikan apresiasi dengan terbuka, dengan wajar, tentu saja membutuhkan keluasan wawasan, keluasan cara berpikir, dan sudut pandang yang fleksibel, sehingga informasi-informasi tersebut akan memberikan banyak hal baru yang siap untuk dituangkan menjadi karya. Proses menganalisa merupakan proses pematangan dan ‘kehamilan’ dari ide yang telah didapatkan dari informasi-informasi yang telah didapatkan sebelum ide tersebut dilahirkan dalam bentuk karya.
3. Adaptasi 
“Menulis merupakan sebuah proses yang jujur, yang tidak direkayasa, sesuai dengan pengalaman batin, pengalaman hidup, tingkat intelektual si penulis, walaupun pada prosesnya dia akan bersentuhan dengan simbol, bentuk, dan kata sebagai alat menyampaikannya.” (Rendra dikutip Soni Farid Maulana: Apresiasi Menulis Puisi, 2008).  

Senada dengan hal tersebut, Emha Ainun Najib menyatakan bahwa: “Menulis sajak merupakan sesuatu yang jujur dan tidak bisa dibuat-buat.”
(Emha Ainun Najib: Slilit Sang Kyai, Cetakan VI, 1992).  

Sedangkan Subagio Satrowardoyo menyatakan bahwa: “Pada akhir hidupnya, Chairil baru mencapai kesatuan iramanya dengan gerak alam semesta. Setelah menjadi bocah cilik berkejaran dengan bayangan di dalam angan-angan negeri dan budaya asing, ia kembali kepada realitas dunia sekelilingnya yang memberinya penglihatan yang hening. Kesatuan irama dengan alam semesta itu mendekatkan Chairil pada sikap hidup masyarakat sekelilingnya, yang menentukan ciri dirinya sebagai homo religiosus.”
(Subagio Sastrowardoyo: Sosok Pribadi Dalam Sajak, 2000).  

Semua pendapat tersebut memberikan sebuah garis besar tentang ‘mengadaptasi’ yang merupakan proses berkelanjutan dari mengamati, mendengarkan, mengumpulkan, mencatat→menganalisis→merenungkan→menuliskan kembali. Proses akhir inilah yang menuntut kreatifitas penulis dalam mengadaptasi semua informasi dari nilai-nilai luhur budaya lokal yang telah didapatkannya dalam bentuk karya—sastra, gerak, suara, musik, rupa, dan drama—yang memiliki nilai-nilai baru/terbarukan tanpa melepaskan diri dari akar budayanya sendiri.

Nilai-nilai luhur budaya lokal tersebut dituangkan ulang dalam bentuk karya baru yang disesuaikan dengan kondisi jaman dan sosial masyarakat yang ada sekarang, sehingga nilai-nilai luhur budaya lokal tersebut tetap dan terus mendapatkan tempat sebagaimana ia telah diwariskan oleh para leluhur.   

III. PENUTUP
Seorang penulis dan manusia yang berkecimpung di dalam dunia seni adalah manusia-manusia yang memiliki kreatifitas, daya renung, imajinasi, pola pikir, wawasan, dan kemauan belajar yang tinggi. Tidak ada yang namanya ‘bad mood’ maupun kering ide bagi seorang penulis dan pelaku seni, karena mereka memiliki sumber ide yang berasal dari nilai-nilai budaya local yang berserakan di sekelilingnya. Seorang penulis dan pelaku seni memiliki kemampuan dan kecakapan hidup (life skill) berdasarkan pengalaman pribadi, budi pekerti, dan kemampuan berpikir kritis dalam tiap waktu dan kesempatan.                                        

Semua proses tersebut merupakan ‘pengalaman’ yang dapat dijadikan sebagai sumber dan bahan untuk melahirkan karya. Pengalaman-pengalaman ini, tentu saja tidak pernah terlepas dari nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai budaya lokal yang didapatkan setiap manusia sejak ia masih kecil.  Menulislah, karena siapa saja bisa menulis. Setiap orang memiliki harta karun bernama pengalaman pribadi, masa kanak-kanak, dan nilai-nilai budaya yang tertanam sejak ia dilahirkan ke dunia. Menulis adalah satu dari berbagai cara untuk mengabadikan dan meninggalkan jejak keberadaan manusia, sebagaimana yang disampaikan oleh Bung Karno: Jas Merah yaitu Jangan melupakan sejarah.


DAFTAR RUJUKAN  
Soemardjo, Jakob, 2000, Filsafat Seni,
— Rilke, Reiner Maria, Letters To A Young Poet, terjemahan Sutardji Calzoum Bachri: Surat Kepada Penyair Muda
AAM Jelantik, Estetika, Sebuah Pengantar, 1999, Masyarakat Seni Pertunjukan, Bandung Sutjipto, Katjik, 1973, Seni Rupa Sebagai Alat Pendidikan, IKIP Malang
Maulana, Soni Farid, 2008, Apresiasi Dan Proses Kreatif Menulis Puisi, Bandung Sastrowardoyo, Subagio, 2000, Sosok Pribadi Dalam Sajak, Balai Pustaka, Jakarta
Najib, Emha Ainun, 1992, Slilit Sang Kyai, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Garrison & Archer, 2004, Model Hubungan Berpikir Reflektif dan Kegiatan Inkuiri, — Undang-Undang No 20, tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Akhudiat, 2014, Materi Penulisan Naskah Drama Fragmen Budi Pekerti, Malang
Hidajat, Arif, 2015, Bimbingan Teknis Seni Teater Tradisi Jenjang Pendidikan Menengah, UPT Dikbangkes Jatim, Malang, 2015

Penulis : Rahman El Hakim

Senin, 27 Juni 2016

Tips Bikin Narasi Kece



Tentu saja ‘kece’ di sini itu relatif. Kece untuk si penulis, bisa jadi malah lebay untuk pembacanya. Tidak apa, orang biasa saja diharuskan untuk bersabar, apalagi kita penulis, sabarnya harus berlapis, Kawan! Ingat, kita penulis.

Di bawah ini ada 4 tips untuk membuat narasi yang bagus:
4. Rajin mulung kata-kata unik.
Bagaimana caranya? Bacalah! Sesering yang kau bisa. Klise? Yep. Tapi percayalah, ini benar-benar ampuh. Baca apa saja, buntelan kacang, majalah bekas, buku-buku sekolah, sinopsis novel. Dengan begitu kita akan menemukan kata-kata ajaib yang bisa jadi baru pertama kita dengar.

Contohnya saja, saya menemukan kata plural di LKS Kewarganegaraan SMA. Saya akan mencatat kata tersebut di buku atau sekedar disimpan di draft ponsel. Kalau tidak tahu artinya, tangan saya langsung gatel untuk cepat-cepat browsing. Nah, ketika suatu kali saya mengalami kesulitan dalam merangkai kalimat, saya sudah memiliki sejumlah ‘investasi’ kata yang dapat membantu kebuntuan. Saya bisa segera menerapkan kata plural di dalam kalimat: Dadanya panas. Dada sebagai tempat sampah hidupnya, tempat penyimpanan berbagai macam perasaan yang plural dan kompleks.

Enak, kan?

3. Jadi tukang contek ulung.
Contek saja kalimat orang yang menurutmu menarik, lalu sesuaikan dengan kejadian dan bahasamu sendiri. Dalam cerpen Pilar, saya menampilkan kalimat yang saya comot dari komentar orang di salah satu blog. Komentar tersebut kurang lebih berbunyi, "Banyaknya manusia yang beragama membuat dunia ini serong ke kanan. Saya memilih menjadi atheis dan berada di sebelah kiri agar dunia ini menjadi lebih balance."

Kalimat tersebut saya anggap menarik, sampai-sampai sudah mengendap sekitar satu tahun lebih di ‘loker’ dalam kepala. Lalu kalimat itu saya ubah menurut versi sendiri menjadi “Dunia sudah sesak oleh manusia dengan segala kisah cinta mereka yang menggelikan. Itu menyebabkan dunia ini cenderung condong ke kanan. Aku akan berada di sebelah kiri agar setidaknya mengarahkan dunia ke sisi yang lebih seimbang."

Menurut bang Isa Alamsyah dan Bang Agung Pribadi, kalimat baru yang saya buat tersebut bukanlah bentuk dari plagiat.

2. Improvisasi.
Ini istilah saya pribadi, ada dua macam bentuk dari improvisasi, improvisasi kata dan improvisasi kalimat (saya akan senang bila ada yang memberikan istilah lain yang lebih tepat). Bagaimana caranya melakukan improvisasi? Simpel. Untuk improvisasi kata, carilah sinonim kata sebanyak-banyaknya. Kalau dalam satu paragraf kita menuliskan kata ‘sakit’ hingga tiga kali misalnya, kita bisa menggunakan persamaan katanya untuk mengganti dua kata ‘sakit’ selanjutnya. Misal dengan kata ngilu, nyeri, perih, pedih dan sebagainya.

Bagaimana dengan improvisasi kalimat? Dalam hal ini, kita bisa benar-benar paham apa manfaat dari majas (gaya bahasa). Lebih baik hindari istilah-istilah yang sudah sering kita dengar, dan cobalah untuk membuat majas yang lebih segar.

Contoh 1:
Air mata cowok itu menganak sungai (majar hiperbola.)

Contoh 2:
Sepertinya ada buliran air yang ber-ice skating menuruni pipi cowok di sebelahnya. (majas personifikasi -> yang bisa ber-’ice skating’ kan manusia.)

Coba bandingkan, mana yang lebih unik?

1. Show, don’t tell. Benarkah?
Penulis yang sudah mahir selalu saja menyarankan kepada juniornya tentang istilah ini. Apa sih maksudnya? Tunjukkan, jangan ceritakan? Apa bedanya?

Oke, misalnya saya punya kalimat:
Mbak Nainy kelelahan karena berjualan cendol dari pagi sampai sore.
Itulah tell. Bagaimana rasanya membaca kalimat itu? lempeng? Fine!

Lalu saya punya kalimat lagi:
Langit sudah temaram, Mbak Nainy menyandarkan tubuh dengan malas. Kakinya meleot di tanah sementara tangannya menggelambir di kedua sisi tubuh. Beberapa kali sempat terdengar bunyi gemerutuk dari persendian yang dia tarik ke atas.
Dan itulah show.

Apa show lebih baik daripada tell? Mungkin. Tapi apa jadinya kalau kita membaca sebuah tulisan yang terlalu banyak show? Dari contoh di atas, untuk menunjukkan bahwa mbak Nainy kelelahan saja saya menuliskannya dalam 3 kalimat, dan untuk menggambarkan ‘sore’ saya butuh tiga kata. Lalu bagaimana kalau kita menjumpainya dalam cerpen atau novel? Apa setiap adegan harus digambarkan sedetail itu? Tentu saja tidak. Variasikanlah ‘show’ dan ‘tell’ secara tepat. Dan percayalah, narasi yang kita buat akan lebih ciamik.

Maaf untuk contoh yang tidak sempurna, contoh-contoh di atas diambil dari dokumen pribadi. Artikel ini dibuat agar dapat memberi manfaat bagi mereka yang rendah hati, bagi mereka yang mau belajar dari siapa saja, bagi mereka yang begitu mencintai menulis dan bercita-cita menjadi penulis, bagi mereka yang tidak pelit untuk berbagi ilmu. Saya begitu berharap teman-teman yang membaca ini pada akhirnya bisa berkata, “owalah... begini to?” sambil manggut-manggut, kemudian bergegas mempraktikkannya.

Mari berbagi dengan menulis!

Penulis : Wulan Mardiana

Kisah Nyata Ali bin Ibrahim Al-Naimi di Pertambangan Minyak



Disebuah perusahaan pertambangan minyak di Arab Saudi, diakhir tahun 1940-an. Seorang pegawai rendahan, remaja lokal asli Saudi, kehausan dan bergegas mencari air untuk menyiram tenggorokannya yang kering. Ia begitu gembira ketika melihat air dingin yang tampak didepannya dan segera mengisi air dingin ke dalam gelas.

Belum sempat ia minum, tangannya terhenti oleh sebuah hardikan : “Hei, kamu tidak boleh minum air ini. Kamu cuma pekerja rendahan. Air ini hanya khusus untuk insinyur”. Suara itu berasal dari mulut seorang insinyur Amerika yang bekerja di perusahaan tersebut.

Remaja itu akhirnya hanya terdiam menahan haus. Ia tahu ia hanya anak miskin lulusan SD. Kalaupun ada pendidikan yang dibanggakan, ia lulusan lembaga Tahfidz Quran, tapi keahlian itu tidak ada harganya di perusahaan minyak yang saat itu masih dikendalikan oleh manajeman Amerika.

Hardikan itu selalu terngiang di kepalanya. Ia lalu bertanya-tanya, kenapa ini terjadi padaku? Kenapa segelas air saja dilarang untuk'ku? Apakah karena aku pekerja rendahan, sedangkan mereka insinyur? Apakah kalau aku menjadi insinyur aku bisa minum? Apakah aku bisa menjadi insinyur seperti mereka?
Pertanyaan ini selalu terngiang dalam dirinya. Kejadian ini akhirnya menjadi momentum baginya untuk membangkitkan “SIKAP POSITIF”.

Muncul komitmen dalam dirinya. Remaja miskin itu lalu bekerja keras siang hari dan melanjutkan sekolah malam hari. Hampir setiap hari ia kurang tidur untuk mengejar ketertinggalannya.

Tidak jarang olok-olok dari temanpun diterimanya. Buah kerja kerasnya menggapai hasil. Ia akhirnya bisa lulus SMA.

Kerja kerasnya membuat perusahaan memberi kesempatan padanya untuk mendalami ilmu. Ia dikirim ke Amerika mengambil kuliah S1 bidang teknik dan master bidang geologi. Pemuda ini lulus dengan hasil memuaskan.
Selanjutnya ia pulang ke negerinya dan bekerja sebagai insinyur.

Kini ia sudah menaklukkan ”rasa sakit”nya, kembali sebagai insinyur dan bisa minum air yang dulu dilarang baginya. Apakah sampai di situ saja? Tidak, karirnya melesat terus. Ia sudah terlatih bekerja keras dan mengejar ketinggalan, dalam pekerjaanpun karirnya menyusul yang lain.
Karirnya melonjak dari kepala bagian, kepala cabang, manajer umum sampai akhirnya ia menjabat sebagai wakil direktur, sebuah jabatan tertinggi yang bisa dicapai oleh orang lokal saat itu.

Ada kejadian menarik ketika ia menjabat wakil direktur. Insinyur Amerika yang dulu pernah mengusirnya, kini justru jadi bawahannya.

Suatu hari insinyur tersebut datang menghadap karena ingin minta izin libur dan berkata : “Aku ingin mengajukan izin liburan. Aku berharap Anda tidak mengaitkan kejadian air di masa lalu dengan pekerjaan resmi ini. Aku berharap Anda tidak membalas dendam atas kekasaran dan keburukan perilaku'ku di masa lalu”.

Apa jawab sang wakil direktur mantan pekerja rendahan ini: “Aku ingin berterima-kasih padamu dari lubuk hatiku paling dalam karena kau melarang aku minum saat itu. Ya dulu aku benci padamu. Tapi, setelah izin Allah, kamu-lah sebab kesuksesanku hingga aku meraih sukses ini.

Kini sikap positfnya sudah membuahkan hasil, lalu apakah ceritanya sampai disini?
Tidak. Akhirnya mantan pegawai rendahan ini menempati jabatan tertinggi di perusahaan tersebut. Ia menjadi Presiden Direktur pertama yang berasal dari bangsa Arab.
Tahukan Anda apa perusahaan yang dipimpinnya? Perusahaan itu adalah Aramco (Arabian American Oil Company) perusahaan minyak terbesar didunia.

Ditangannya perusahaan ini semakin membesar dan kepemilikan Arab Saudi semakin dominan. Kini perusahaaan ini menghasilakn 3.4 juta barrels (540,000,000 m3) dan mengendalikan lebih dari 100 ladang migas di Saudi Arabia dengan total cadangan 264 miliar barrels (4.20×1010 m3) minyak dan 253 triliun cadangan gas.
Atas prestasinya, ia ditunjuk Raja Arab Saudi untuk menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral yang mempunyai pengaruh sangat besar terhadap dunia.

Ini adalah kisah Ali bin Ibrahim Al-Naimi yang sejak tahun 1995 sampai saat ini menjabat sebagai Menteri Perminyakan dan Mineral Arab Saudi.

Terbayangkah hanya dengan mengembangkan hina'an menjadi hal yang positif, isu air segelas dimasa lalu membentuknya menjadi salah seorang penguasa minyak yang paling berpengaruh di seluruh dunia.

Itulah kekuatan”SIKAP POSITIF”
Kita tidak bisa mengatur bagaimana orang lain berperilaku terhadap kita. Kita tidak pernah tahu bagaimana keadaan akan menimpa kita.

Tapi kita sepenuhnya punya kendali bagaimana menyikapinya.
Apakah ingin hancur karenanya?
Atau bangkit dengan semangat “Bersikap Positif”

SURAT MENTERI DAN MIMPI PENGARANG TUA


Oleh Agus Noor, Jujur Prananto, Dewi Ria Utari, Putu Wijaya, Triyanto Triwikromo, dan Ni Komang Ariani

Tohari, pengarang tua itu, gemetar memandangi surat yang baru saja diterimanya. Dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Di pengujung usia senjanya sebagai pengarang, baru kali ini ia merasa diperhatikan. Ia akan mendapatkan hadiah Rp 100 juta. Astagfirullah, itu uang yang tak pernah dibayangkan, bila mengingat selama ini ia hanya mendapat puluhan ribu dari honor tulisannya. Memang sesekali ia mendapat uang sekian juta bila diundang di acara pemerintah, tapi itu pun sudah dipotong sana-sini, dan ia hanya menandatangani kuitansi kosong. Sekarang Rp 100 juta! Tumben pemerintah memberi hadiah sebanyak itu.

Masih dalam kekagetan yang teramat sangat, Tohari mulai merancang-rancang akan dikemanakan uang sebanyak itu. Ia sedang berpikir untuk menggunakan sedikit uang tersebut untuk belanja online? Siapa tahu? Baru minggu lalu, cucunya memperlihatkan Instagram belanja online yang penuh dengan barang-barang baru menggiurkan mata yang tak pernah dilihatnya.

"Mbah," kata sang cucu. "Beli ini saja."

"Apa itu?"

"Smartphone model terbaru."

"Ahhh enggak mau. Handphone yang Mbah beli sepuluh tahun lalu masih bisa dipakai, kenapa harus beli yang baru."

Tetapi tiba-tiba, ponsel Tohari berbunyi, langsung yang berbicara Pak Menteri. "Maaf Pak Tohari, hadiahnya dicabut. Tolong, ini hanya mimpi saya. Lebih baik besok malam Pak Tohari mimpi saja sendiri. Hadiahnya mungkin Rp 1 miliar."

"Tapi Pak, kalau Rp 1 miliar, saya enggak mau mimpi sendiri. Lebih baik saya mengajak teman-teman saya bermimpi bersama. Banyak tuh yang pengen bisa mimpi dapat Rp 1 miliar. Di antaranya teman-teman penulis cerpen tua seperti saya ini. Putu Wijaya, Budi Darma, atau Seno Gumira Ajidarma. Eh tapi Seno sering kali terlalu banyak improvisasi kalau diajak bermimpi. Lebih baik lagi saya mengajak teman-teman penulis muda untuk bermimpi bersama. Mereka kreatif-kreatif lho Pak kalau diajak mimpi. Kayak itu tuh, Ni Komang Ariani, Iqbal, Guntur, Oddang, Miranda, mereka pinter-pinter lho kalau ngimpi."

"Silakan saja Pak Tohari. Mau mimpi sendiri atau ngajak teman-teman. Yang penting Bapak sudah cukup jelas kan bahwa hadiahnya sudah dicabut? Coba susun dulu proposal mimpi Rp 1 miliar Pak Tohari, nanti ajukan saja ke saya. Nanti saya kasih kontak nomornya Dirjen saya, si Hilmar itu. Biar nanti dia baca dulu proposal Rp 1 miliar Pak Tohari," ujar Pak Menteri.

Tohari terdiam sejenak. Ia mencoba menafsir makna di balik perkataan Pak Menteri yang sebenarnya sudah sangat terang benderang itu.

"Maaf Pak Menteri, apakah saya boleh bertanya?"

"Silakan, Pak Tohari."

"Apakah Bapak bisa mengendalikan mimpi?"

"Mengapa tidak?"

"Bapak pernah mengendalikan mimpi?"

"Berkali-kali."

"Wah, sungguh elok. Jadi bisa ya, saya meminta diri saya mimpi mendapat Rp 100 juta lalu saya minta sembilan pengarang lain mimpi mendapat Rp 100 juta? Bisa jugakah dalam mimpi itu saya meminta sembilan pengarang lain memberikan uang mereka untuk saya? Lalu, jika sudah terkumpul, bisakah saya meminta diri saya sendiri memberikan uang itu untuk guru-guru miskin di seluruh Tanah Air?"

"Bisa. Mengapa tidak?"

"Kok Bapak begitu yakin?"

"Saya telah melakukan berkali-kali, Pak Tohari."

Tohari takjub.

"Boleh bertanya lagi Pak Menteri?"

"Silakan, Pak Tohari."

"Bagaimana cara mengendalikan mimpi itu?"

"Pak Tohari harus tidur tepat pukul 00.13."

Tohari tak bertanya mengapa harus pukul 00.13. Ia justru menanyakan posisi tidur.

"Kepala harus mengarah ke selatan atau timur?"

"Ke utara, Pak Tohari. Sebelum tidur, bersama sembilan pengarang, Pak Tohari harus membayangkan mendapat uang masing-masing Rp 100 juta bukan dari saya, melainkan dari Pak Jokowi. Pak Jokowi pasti tergerak memberikan uang itu. Hanya, Pak Tohari dan sembilan pengarang, tidak boleh ragu-ragu dalam bermimpi. Paham, Pak Tohari?"

"Paham, Pak Menteri."

Tohari memang paham pada setiap perkataan Pak Menteri. Akan tetapi, begitu suara Pak Menteri dari seberang menghilang, ia sedikit meragukan metode pengendalian mimpi yang tak masuk akal.

"Mimpi selalu tidak masuk akal," Tohari membatin, "Karena itu, haruskah aku memercayai metode mimpi Pak Menteri?"

Sunyi. Tohari merasa tak bisa menjawab pertanyaan itu sendiri. Karena itulah, ia perlu menelepon beberapa pengarang.

Mula-mula ia menelepon Triyanto Triwikromo.

"Apakah Anda pernah mengendalikan mimpi?"

"Belum pernah, Pak Tohari, tetapi saya pernah mengendalikan cerita. Cerita apa pun bisa saya kendalikan sesuai keinginan suksma."

Ia juga bertanya pada Seno. Seno menggeleng. "Saya hanya mahir mengendalikan senja, Pak Tohari. Sesekali saya mengendalikan Tuhan untuk memenuhi doa-doa saya."

Ia juga bertanya pada Joko Pinurbo. Joko Pinurbo tertawa, "Saya hanya bisa mengendalikan sarung dan celana saya. Celana dan sarung saya jika tidak dikendalikan suka berkibar ke mana-mana, Pak Tohari."

Tohari juga bertanya kepada cerpenis baru tapi senior Warih Wisatsana. Ia hanya mendapatkan jawaban, "Kalau mau kendalikan mimpi, jadilah ikan terbang dulu...," kata Warih.

Tak putus asa, Tohari bertanya kepada pengarang lain mengenai teknik mengendalikan mimpi. Kali ini kepada Budi Darma. Budi Darma juga tertawa, "Satu-satunya sosok yang pernah saya kendalikan bernama Olenka. Justru Olenkalah yang bisa mengendalikan mimpi. Coba nanti saya tanyakan kepada dia."

"Jangan-jangan saya juga bisa bertanya kepada Srintil atau Rasus, ya Pak Budi?"

"Mungkin saja, Mas Tohari. Mungkin saja. Sampeyan tahu di mana harus menghubungi Rasus atau Srintil bukan?"

Tohari mengangguk namun tidak segera melakukan saran Budi Darma. Tohari kemudian berjalan ke arah jendela. Ia menatap gerimis.

"Masih gerimis air. Bukan gerimis yang telah jadi logam," Tohari bergumam sambil mengingat Goenawan Mohamad, penyair yang menulis "Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam".

Masih gerimis yang biasa-biasa saja. Bukan sesuatu yang lebih tabah dari hujan bulan Juni," Tohari mendesis sambil mengingat Sapardi Djoko Damono, penyair "Hujan Bulan Juni".

Tohari terus menikmati gerimis itu. Ia tidak ingin menghubungi Srintil. Ia tidak ingin menghubungi Rasus. Ia justru menelepon Putu Wijaya.

"Bli Putu, apakah Anda bisa mengendalikan mimpi?"

"Bisa. Apa pun bisa saya kendalikan."

"Bisa bermimpi bertemu dengan Pak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan lalu mengajak beliau menemui Pak Jokowi?"

"Bisa."

"Bisa meminta Pak Jokowi memberi uang kepada 10 pengarang masing-masing Rp 100 juta?"

"Bisa."

"Bisa meminta para pengarang memberikan uang itu kepada guru-guru miskin?"

"Bisa."

"Caranya?"

Tak ada jawaban dari seberang.

"Caranya?"

Masih tak ada jawaban.

"Bli Putu? Ada apa? Bli Putu masih mendengarkan suara saya?"

Tetap tak ada jawaban.

"Halo, Bli? Masih mendengar suara saya?"

"Ya, masih Pak Tohari. Caranya kita harus puasa 40 hari dulu di gua yang paling gelap. Setelah itu puasa 40 hari lagi di gedung paling tinggi. Terakhir kita harus puasa 40 hari lagi di tepi sungai paling kotor."

"Kok terlalu sulit. Ada cara yang gampang?"

"Ya, memang sulit, Pak Tohari, tetapi saya jamin kita akan bisa mengendalikan mimpi kalau sudah bisa melampaui semua itu."

"Bli Putu mendapatkan metode itu dari mana?"

"Ya, dari mimpi, Pak Tohari. Sekarang tidur dan bermimpilah agar Pak Tohari mendapatkan metode mengendalikan mimpi! Saya doakan Pak Tohari berhasil. Pak Tohari orang baik. Alam pasti menolong Anda."

Tohari terdiam. Ia pun bersiap-siap tidur. Di sana ia bertemu dengan semua orang yang dipikirkannya. Pak Menteri yang senyumnya semanis gula. Pak Jokowi yang matanya memantulkan sungai yang berwarna kecoklatan. Dan semua pengarang-pengarang yang ditemuinya itu. Mereka seperti menghadiri sebuah pesta dengan sajian makanan yang serba lezat. Mulai dari kambing guling, sate maranggi, ayam panggang, sampai dengan kue tart kecil rasa cokelat dan karamel.

Tohari tidak ingat kapan pesta itu berakhir, yang jelas ia terbangun dengan badan pegal luar biasa. Seperti sehabis mencangkul sawah sehari penuh. Pintu kamar terbuka sebagian, sementara Tohari hanya tergeletak tanpa daya. Tak kuasa menggerakkan tubuhnya untuk bangkit.

Di luar sana, halaman rumahnya terlihat jorok dengan tumpukan daun berserakan, yang tak sempat dibersihkan. Namun, kali ini daun-daun berserakan itu terlihat berbeda. Warnanya merah terang dan ada dua foto dua orang yang sangat dikenalnya. Dua laki-laki tampan mengenakan kopiah, yang ia kenal betul, namun ujung lidahnya gagal menyebutkan nama kedua orang itu.

Istrinya sudah berulang kali ngomel.

"Tuh lihat rumah tanpa aku. Dari dulu kamu terlalu sibuk berpesta. Sibuk tertawa-tawa seperti pejabat-pejabat itu. Sibuk mencecap kue tart rasa karamel. Lupa pada bibirmu yang hitam dan keriput itu."

Tohari mengerang keras setelah kembali gagal bangkit dari tempat tidur. Daun-daun gugur makin menumpuk, seperti membentuk gundukan di hadapannya.

Tohari memejamkan mata mengingat-ingat ucapan Pak Menteri. Sedikit-sedikit mulai dipercayainya ucapan laki-laki itu. Karena ia pernah mengetahui seseorang melakukan hal yang sama persis. Teman dari temannya. Namanya Leonardo. Laki-laki itu berwajah kaukasia. Hidungnya mancung dan kulitnya putih seperti daging durian yang sudah dikupas.

Leonardo menjalankan sebuah misi rahasia dengan bermimpi kolektif bersama teman-temannya. Apa misi rahasianya? Jelas Tohari tidak tahu. Namanya juga rahasia. Ia tersenyum-senyum sendiri. Tohari mengernyit kesakitan, merasakan tarikan tajam di kedua pipinya yang mengeras.

Bukan saja badannya yang makin mengeras, ternyata urat-urat wajahnya seperti sudah disemen. Tohari memejamkan mata untuk memusatkan pikiran. Agar ia bisa memahami apa yang sungguh terjadi, ketika sekonyong-konyong, seorang laki-laki, yang ia ketahui bernama Eden berbisik di telinganya. "Aku bisa menolongmu. Aku bisa mengajarimu melakukan apa yang dilakukan oleh Leonardo dan kawan-kawannya." Suaranya serak dan dalam seperti suara Hannibal Lecter.

Tohari tercengang. "Aku bisa mengajak sembilan orang lainnya untuk bermimpi secara bersamaan?" Eden mengangguk yakin. "Namun, kesempatanmu hanya sekali. Dalam kesempatanmu yang sekali itu, ada dua peluang. Peluang berhasil lima puluh persen, peluang gagal lima puluh persen. Jika berhasil, mimpi 1 miliarmu akan terkabul, jika gagal, kesepuluh dari kalian akan terjebak di dalam dunia karangan kalian masing-masing." Katanya dengan suara yang makin serak seperti tercekik.

"Hah...! Apa maksudnya?"

"Ingat-ingatlah cerpen yang pernah kamu tulis. Seingatku terakhir kau menulis tentang seorang anak yang ingin mengencingi Jakarta. Nah, jika gagal, kau akan hidup di dunia anak-anak yang kau kisahkan itu."

Tohari merinding. Deru kereta api yang menggetarkan dan suara klaksonnya yang menjerit-jerit, menyerbu ke gendang telinganya. Bau makanan sisa bercampur bau bacin menggulung seperti tornado di depan cuping hidungnya. Kawanan lalat meriung riang merayakan kecepatan tubuhnya yang menumpang bokong kereta yang beroma tak sedap. Debu dan sampah-sampah kecil beterbangan membuat kelilipan.

Anginnya berpusing ke segala penjuru dan menerbangkan gundukan daun berwarna merah terang di halaman. Dua laki-laki berkopiah dan berwajah tampan tersenyum dengan manisnya. Sekilas senyumnya mirip senyum Pak Menteri. Di titik batas alam sadarnya, Tohari melenguh kecil. Aku mau tersenyum dan tertawa. Langit menggelap dan titik embun membasahi kening Tohari yang keriput. Laki-laki itu terkekeh-kekeh geli.

Catatan:
Cerpen ini ditulis secara kolaboratif oleh Agus Noor, Jujur Prananto, Dewi Ria Utari, Putu Wijaya, Triyanto Triwikromo, dan Ni Komang Ariani, dimulai saat Malam Jamuan Cerpen Kompas, Selasa (31/5). Setelah menulis secara langsung di depan undangan, penulisan dilanjutkan secara bergantian dari meja kerja masing-masing. Keenam penulis ini dianggap mewakili 23 penulis cerpen yang diundang malam itu. Judul "Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua" ditulis secara langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang juga hadir. Cerpen ini dipersembahkan khusus untuk merayakan 51 tahun harian Kompas, yang jatuh pada 28 Juni mendatang.

(Sumber: harian Kompas edisi 26 Juni 2016, halaman 20 dengan judul "Surat Menteri dan Mimpi Pengarang Tua.")