|
image : p-wec.org |
Salam Seni dan Budaya
Selamat pagi dan salam sejahtera kepada semuanya...
Mari kita berdiskusi, sharing, dan belajar bersama...
PENDAHULUAN
Definisi seni jika ditinjau dari berbagai sudut pandang memiliki banyak makna, satu di antaranya adalah “seni merupakan pengekspresian cipta rasa manusia dalam suatu karya yang dapat dikatakan unik”. Seni merupakan sinonim dari ilmu, karena pada mulanya seni merupakan sebuah proses dari manusia. Seni merupakan inti sari dari ekspresi dan kreatifitas manusia. Jakob Soemardjo menyatakan bahwa seni memiliki enam pandangan tentang apa yang seharusnya diwujudkan dalam seni, yaitu:
1. Seni itu representasi sikap ilmiah atas kenyataan alam dan kenyataan sosial,
2. Seni merupakan representasi general dari alam dan manusia umumnya,
3. Seni adalah representasi karakteristik general dalam alam dan manusia yang dilihat secara obyektif,
4. Seni adalah representasi bentuk ideal yang melekat pada alam kenyataan dan alam pikiran manusia,
5. Seni merupakan representasi bentuk ideal yang transcendental (homo relegius), dan
6. Seni adalah representasi dunia seni itu sendiri (seni untuk seni).
(Jakob Soemardjo: Filsafat Seni, 2000)
Semua bentuk seni—sastra, tari, vocal, rupa, dan drama—merupakan wujud dari pencarian dan pengekspresian diri manusia selama berabad-abad bahkan semenjak manusia diciptakan pertama kali. Seni merupakan sebuah puncak kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh manusia dalam kehidupan di dunia.
PEMBAHASAN
Peradaban memiliki makna sikap, tingkah laku, serta tatanan masyarakat (manusia) yang tahu, paham, mengerti, dan melaksanakan ‘adab’ tata krama kepada alam, tumbuhan, hewan, sesama manusia, dan Tuhan. Puncak dari seni adalah drama. Drama memiliki unsur-unsur yang merangkum seluruh bidang seni yang ada, yaitu: 1) Sastra berupa naskah; 2) Gerak berupa tari dan pergerakan aktor; 3) Rupa berupa artistik panggung dan properti pementasan; 4) Suara berupa dialog aktor; 5) Musik berupa ilustrasi/musik pengiring. Hakekatnya setiap manusia (individu) adalah seorang seniman yang tentu saja porsinya berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Setiap orang pasti menyukai dengan keindahan, kerapian, serta segala sesuatu yang dapat membuat dirinya nyaman, gembira, dan diakui keberadaannya.
Pertanyaan terbesarnya: Kenapa tidak semua orang menjadi penulis, penyair, pelukis, maupun bidang seni lainnya? Akan ada banyak jawaban untuk pertanyaan ini, tentu saja disesuaikan dengan pendapat, pemahaman, tingkat pendidikan, serta wawasan tiap individu. Jawaban paling umum yang dapat dan sering didengar adalah: “Saya tidak berbakat, Saya tidak bisa, Saya tidak tahu, dan sejenisnya.” Padahal ketika kecil, semua orang pasti suka menggambar, menyanyi, menari, dan bercerita dengan bebas sesuai perasaan yang dialaminya. Kebiasaan itu menghilang ketika manusia mulai mengenal dunia luar dirinya. Secara tidak sadar tiap individu menggunakan alat ukur ‘kesuksesan orang lain’ dalam mengukur dan menakar kemampuannya sendiri. Kesuksesan dan keberhasilan orang lain menjadikan diri sendiri silau dan takjub, sehingga lupa bahwa sebenarnya kita juga bisa. Hal ini lambat laun akan menjadi virus yang menyumbat kreatifitas individu.
Menulis merupakan satu dari empat keterampilan berbahasa yang tentu saja membutuhkan pembiasaan secara terus menerus. Menulis memiliki banyak dimensi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Menulis merupakan ‘out put’ atau hasil dari proses pengamatan, pembacaan, pendengaran, dan perenungan (berpikir). Menulis bisa diibaratkan dengan ‘buang air besar’, yang mana tidak mungkin seorang manusia akan buang air besar jika tidak pernah memasukkan sesuatu ke dalam tubuhnya. Lalu apa yang harus dimasukkan ke dalam tubuh untuk menghasilkan tulisan? Rainer Maria Rilke dalam ‘Suratnya Kepada Penyair Muda’, yang diterjemahkan oleh Sutardji Calzoum Bachri memberikan sebuah renungan yang menarik.
……
Maka itu, aku tidak bisa memberi nasihat kecuali ini: pergilah masuk ke dalam dirimu, galilah sampai ke dasar tempat kehidupanmu berasal;
……
Penggalan surat di atas, jelas memberikan dua hal penting yang harus dipahami oleh siapa saja yang ingin dan mau menulis, yaitu:
1. Masuk ke dalam diri
Kekayaan terbesar manusia yang sebenarnya adalah kenangan dan pengalaman-pengalaman masa kecil, segala sesuatu yang dia alami ketika kecil. Semua hal yang terjadi pada masa kanak-kanak—entah bernilai baik maupun buruk—semuanya merupakan gudang tempat menggali kekayaan diri pribadi yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang, dan bentuk serta rasanya berbeda-beda antara satu dengan lainnya. Keadaan (kehidupan) kita saat ini bisa jadi adalah bentuk dan perwujudan kita di masa lampau, tetapi juga sangat bisa merupakan kebalikan dari apa yang kita bayangkan, impikan, dan kita inginkan di masa lalu. Semua itu adalah harta karun terpendam yang jarang sekali kita sadari, bahkan kita selalu berusaha untuk melupakannya (karena beberapa alasan tertentu). Kenangan masa kanak-kanak, yang bernilai baik maupun buruk, merupakan sebuah bahan yang sangat luar biasa bagusnya. Kenangan baik maupun buruk itu bisa saja menjadi sebuah nasehat dan cermin bagi orang lain ketika kita menuliskannya dalam bentuk apapun—sajak, cerpen, novel, maupun naskah drama. Semua orang pasti memiliki kenangan, pengalaman, dan hal-hal lain di masa kanak-kanak, maka sudah pasti setiap orang bisa menulis.
2. Mendekati alam, menggali ke tempat kehidupan berasal Selama ini kita terlalu sering—sangat sering—melihat ke luar diri. Melihat ke kejauhan sehingga kita lupa dengan apa yang ada di bawah telapak kaki kita sendiri. Kita selalu terkagum-kagum, takjub, bahkan memuja-muja segala sesuatu yang berasal dari luar diri kita, sehingga kita tidak pernah berniat untuk melakukannya sendiri. Kita terlalu silau dengan hal-hal, pencapaian, dan karya orang lain, sehingga kita lupa untuk berbuat, dan menghasilkan karya yang bisa saja menyamai atau bahkan melebihi hasil yang dicapai oleh orang lain. Hampir semua hal yang kita lakukan saat ini merupakan hal-hal yang melupakan hakikat kedirian kita sendiri. Cara berpikir, sudut pandang pemikiran, sumber pengetahuan, metode pembelajaran, cara hidup, dan cita-cita hidup kita lebih banyak menjauh dari keberadaan diri sendiri. Kita lebih memilih untuk berpedoman pada akar nilai kehidupan yang berasal jauh dari kehidupan kita sendiri. Nilai-nilai yang ada di sekeliling kita—adat istiadat, budaya, pitutur luhur, pepatah, norma, dan hal-hal baik lainnya—yang telah diwariskan oleh leluhur kita menjadi sebuah komoditi yang ‘seolah-olah’ ketinggalan jaman, tidak modern, bahkan terbelakang. Berapa banyak orang luar yang begitu terpesona, begitu tertarik, bahkan iri dengan kekayaan adat istiadat, budaya, dan segala hal yang diwariskan oleh leluhur kita? Sebagai misal: Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Singapura menyediakan waktu dan jam khusus untuk kurikulum karawitan dan bahasa Indonesia dalam jenjang pendidikan dasar mereka, sedangkan di negara kita belum ada satupun yang berani menerapkan hal tersebut.
Sepanjang sejarah manusia ada tiga hal yang ingin dicapai oleh manusia, yaitu: 1) Kebenaran (truth), 2) Kebaikan (goodness), dan 3) Keindahan (beauty). Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh untuk menjadikan hidup manusia bermakna. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa ‘Pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi, serta efisiensi managemen pendidikan. Peningkatan mutu pendidikan diwujudkan melalui program Wajib Belajar 9 tahun. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia seutuhnya melalui olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga, agar mempunyai daya saing dalam menghadapi tantangan global.’
Hal ini jelas memberikan sebuah koridor yang menarik kepada siapa saja yang termasuk warga Negara Indonesia untuk terlibat secara aktif maupun pasif dalam turut serta menyukseskan proses ‘olah hati, olah pikir, dan olah rasa’ sehingga setiap manusia Indonesia menjadi utuh sesuai karakteristiknya masing-masing. Olah hati, olah pikir, dan olah rasa merupakan bagian dari nilai-nilai estetika manusia, yang telah ada dan merupakan fitrah manusia. Tanpa estetika, hidup akan menjadi kering, hampa, bahkan tidak bermakna. Belajar estetika hakikatnya adalah belajar tentang nilai-nilai luhur dan menemukan nilai-nilai luhur dalam kehidupan.
Belajar estetika akan memberikan manfaat antara lain:
1. Memperdalam tentang rasa indah pada umumnya dan kesenian pada khususnya,
2. Memperkokoh rasa cinta pada seni dan budaya bangsa pada umumnya dan mempertajam kemampuan mengapresiasi, menghargai kesenian dan budaya,
3. Memupuk kehalusan rasa dalam diri manusia,
4. Memperkokoh keyakinan dalam masyarakat dalam kesusilaan, moralitas, peri kemanusiaan, dan ketuhanan,
5. Melatih diri untuk berdisiplin dalam cara berpikir dan mengatur pemikiran dengan sistematik, membangkitkan potensi untuk berfalsafah, yang akan memudahkan dalam menghadapi permasalahan, memberikan wawasan yang luas sebagai bekal bagi kehidupan spiritual dan psikologis. (AAM Jelantik, Estetika: Sebuah Pengantar, hal. 13-14, 1999)
Sejalan dengan pemikiran di atas, tujuan pendidikan ekspresi estetis ialah membimbing pertumbuhan pribadi manusia, di samping membuat harmonis kepribadiannya dalam kelompok sosial. Hal ini seiring dengan hakikat pendidikan estetis yang memiliki fungsi:
1. Menjaga dan memelihara kemampuan segala macam persepsi dan sensasi,
2. Mengkoordinasikan berbagai cara persepsi dan sensasi, antara yang satu dengan yang lainnya dalam hubungannya kepada lingkungan,
3. Mengekspresikan perasaan dalam bentuk yang dapat dikomukasikan,
4. Mengekspresikan dalam wujud bentuk dari segala macam pengalaman mental.
(Katjik Sutjipto, Seni Rupa Sebagai Alat Pendidikan, 1973)
Di tinjau dari relevansi seni sebagai media pengembangan kreativitas, sifat-sifat imajinasi dan permainan yang melekat dalam seni menegaskan suatu kebebasan berkhayal dan bentuk pengungkapannya. Disiplin seni adalah disiplin yang ‘membebaskan’, disiplin yang senantiasa lebih baik dari pada tidak disiplin dan/atau displin ketat tanpa hati nurani. Disiplin seni adalah system yang akan membawa kebanggan dan keanggunan jasmaniah dan rohaniah. Pada perkembangan jaman global saat ini, ada dua sisi dilematis yang sulit diakomodasikan antara seni dan kehendak umum. Di satu sisi adalah kuatnya minat masyarakat (lokal dan global) terhadap pentingnya memahami budaya local dan nilai-nilai yang dikandungnya, dan di sisi lainnya adalah tuntutan dari system pendidikan, cara pandang, pola pikir, dan kepentingan dunia global yang menempatkan seni dan budaya sebagai hal yang terpinggirkan. Berapa banyak orang tua yang rela mengeluarkan biaya yang mahal untuk mencetak anaknya menjadi manusia yang cerdas dalam bidang eksakta? Dan berapa banyak orang tua yang peduli ketika melihat anaknya tidak bisa berbahasa daerah dengan baik dan benar? Hal ini jelas merupakan dua sisi mata uang logam yang saling berbenturan di dalam masyakarat yang semakin terbanjiri oleh informasi dan kecanggihan tekhnologi. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan begitu banyaknya seni dan budaya yang ada, tumbuh, berkembang, dan memiliki ke-khasan masing-masing sesuai dengan daerah lingkungan alam dan sosialnya tercerabut dari akarnya dan tumbang satu per satu.
B. NILAI LUHUR BUDAYA LOKAL
Harus diakui bahwa bahwa sistem pendidikan, metode berpikir, filsafat, dan ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia sekarang adalah warisan kolonial yang berdasarkan peresepsi Eropa-Barat, walaupun materinya berbeda. Secara tidak disadari hampir keseluruhan ‘budaya’ manusia Indonesia modern adalah budaya yang kehilangan akar bahkan tercerabut dari nilai-nilai luhur budaya aslinya. Akibatnya jelas, budaya yang ada adalah budaya yang mengambang tanpa bentuk, budaya pop, dan suka meniru (budaya konsumtif dan imitative). Dasar budaya lokal Indonesia yang berakar pada kenyataan di lapangan—daerah masing-masing, tipografi alam, dan kultur sosial masyarakat—merupakan kebalikan dari budaya Eropa-Barat yang mengedepankan logika. Seni merupakan produk dari budaya yang ada, tumbuh, berkembang, dan diterapkan dalam masyarakat. Seni yang demikian tidak mungkin sama antara satu daerah dengan daerah lainnya, serupa mungkin iya. Hal inilah yang seharusnya disadari dan digali oleh siapa saja yang mengaku sebagai bagian dari masyarakat. Budaya-budaya lokal dengan nilai-nilai luhurnya adalah sumber yang sangat kaya dan menunggu untuk dieksplorasi oleh kita. Mitos, legenda, cerita rakyat, dongeng, upacara adat, petuah, pitutur, dan ritual-ritual lainnya yang ada di sekeliling kita, yang ada di lingkungan kita, yang ada di tiap-tiap desa/kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/kota adalah samudera ide yang tidak akan ada habisnya untuk digali, ditelaah, dikaji, dan dieksplorasi untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk karya—tulis/sastra, gerak, suara, rupa, musik,drama, dll—yang tentu saja diberikan sentuhan kreatifitas dari tiap masing-masing penulisnya, sehingga karya-karya tersebut tetap mencerminkan kekuatan nilai-nilai luhur budaya lokal masing-masing dan sesuai dengan alam serta budaya saat ini.
C. AMATI, ANALISIS, dan ADAPTASI
Ada banyak metode dan cara untuk menulis dan menuangkan ide yang berasal dari nilai-nilai budaya local. Satu rumusan yang paling mudah adalah prinsip 3A, yaitu:
1. Amati
Tiap daerah, lingkungan, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan suku memiliki nilai-nilai luhur budayanya sendiri yang terkadang lepas dari pandangan kita. Amati dengan seksama apa yang disediakan lingkungan, daerah, dan tempat kita tinggal. Tampung semua informasi yang dilihat dan didengar tanpa harus memberikan penilaian apapun. Cari segala bentuk budaya yang pernah ada, ada, tumbuh berkembang, dan menjadi ciri khas—legenda, cerita rakyat, mitos, sejarah, upacara adat, petuah, pitutur, dll—yang seringnya tidak kita sadari keberadaannya. Kumpulkan informasi-informasi tersebut, dan lakukan pencatatan untuk memudahkan kita menyusunnya kembali menjadi tulisan yang lebih rinci.
2. Analisis
Setelah semua informasi tersebut kita dapatkan, pilah dan pilih informasi-informasi tersebut ke dalam beberapa tema dan subtema. Misalnya: Legenda, Mitos, Upacara adat, dll. Lakukan analisis dengan merenungkan semua informasi tersebut dengan hati dan pikiran yang terbuka, tanpa harus memberikan penilaian baik buruk. Berikan apresiasi dengan wajar tanpa melibatkan ego dan kepentingan pribadi terhadap informasi-informasi tersebut. Kita harus berani mengakui dan memberikan penghargaan pada informasi-informasi tersebut karena kita sendiri belum tentu bisa menciptakan hal yang sama seperti halnya apa yang telah kita dapat dari informasi tersebut. Keberanian untuk memberikan apresiasi dengan terbuka, dengan wajar, tentu saja membutuhkan keluasan wawasan, keluasan cara berpikir, dan sudut pandang yang fleksibel, sehingga informasi-informasi tersebut akan memberikan banyak hal baru yang siap untuk dituangkan menjadi karya. Proses menganalisa merupakan proses pematangan dan ‘kehamilan’ dari ide yang telah didapatkan dari informasi-informasi yang telah didapatkan sebelum ide tersebut dilahirkan dalam bentuk karya.
3. Adaptasi
“Menulis merupakan sebuah proses yang jujur, yang tidak direkayasa, sesuai dengan pengalaman batin, pengalaman hidup, tingkat intelektual si penulis, walaupun pada prosesnya dia akan bersentuhan dengan simbol, bentuk, dan kata sebagai alat menyampaikannya.” (Rendra dikutip Soni Farid Maulana: Apresiasi Menulis Puisi, 2008).
Senada dengan hal tersebut, Emha Ainun Najib menyatakan bahwa: “Menulis sajak merupakan sesuatu yang jujur dan tidak bisa dibuat-buat.”
(Emha Ainun Najib: Slilit Sang Kyai, Cetakan VI, 1992).
Sedangkan Subagio Satrowardoyo menyatakan bahwa: “Pada akhir hidupnya, Chairil baru mencapai kesatuan iramanya dengan gerak alam semesta. Setelah menjadi bocah cilik berkejaran dengan bayangan di dalam angan-angan negeri dan budaya asing, ia kembali kepada realitas dunia sekelilingnya yang memberinya penglihatan yang hening. Kesatuan irama dengan alam semesta itu mendekatkan Chairil pada sikap hidup masyarakat sekelilingnya, yang menentukan ciri dirinya sebagai homo religiosus.”
(Subagio Sastrowardoyo: Sosok Pribadi Dalam Sajak, 2000).
Semua pendapat tersebut memberikan sebuah garis besar tentang ‘mengadaptasi’ yang merupakan proses berkelanjutan dari mengamati, mendengarkan, mengumpulkan, mencatat→menganalisis→merenungkan→menuliskan kembali. Proses akhir inilah yang menuntut kreatifitas penulis dalam mengadaptasi semua informasi dari nilai-nilai luhur budaya lokal yang telah didapatkannya dalam bentuk karya—sastra, gerak, suara, musik, rupa, dan drama—yang memiliki nilai-nilai baru/terbarukan tanpa melepaskan diri dari akar budayanya sendiri.
Nilai-nilai luhur budaya lokal tersebut dituangkan ulang dalam bentuk karya baru yang disesuaikan dengan kondisi jaman dan sosial masyarakat yang ada sekarang, sehingga nilai-nilai luhur budaya lokal tersebut tetap dan terus mendapatkan tempat sebagaimana ia telah diwariskan oleh para leluhur.
III. PENUTUP
Seorang penulis dan manusia yang berkecimpung di dalam dunia seni adalah manusia-manusia yang memiliki kreatifitas, daya renung, imajinasi, pola pikir, wawasan, dan kemauan belajar yang tinggi. Tidak ada yang namanya ‘bad mood’ maupun kering ide bagi seorang penulis dan pelaku seni, karena mereka memiliki sumber ide yang berasal dari nilai-nilai budaya local yang berserakan di sekelilingnya. Seorang penulis dan pelaku seni memiliki kemampuan dan kecakapan hidup (life skill) berdasarkan pengalaman pribadi, budi pekerti, dan kemampuan berpikir kritis dalam tiap waktu dan kesempatan.
Semua proses tersebut merupakan ‘pengalaman’ yang dapat dijadikan sebagai sumber dan bahan untuk melahirkan karya. Pengalaman-pengalaman ini, tentu saja tidak pernah terlepas dari nilai-nilai kehidupan, nilai-nilai budaya lokal yang didapatkan setiap manusia sejak ia masih kecil. Menulislah, karena siapa saja bisa menulis. Setiap orang memiliki harta karun bernama pengalaman pribadi, masa kanak-kanak, dan nilai-nilai budaya yang tertanam sejak ia dilahirkan ke dunia. Menulis adalah satu dari berbagai cara untuk mengabadikan dan meninggalkan jejak keberadaan manusia, sebagaimana yang disampaikan oleh Bung Karno: Jas Merah yaitu Jangan melupakan sejarah.
DAFTAR RUJUKAN
Soemardjo, Jakob, 2000, Filsafat Seni,
— Rilke, Reiner Maria, Letters To A Young Poet, terjemahan Sutardji Calzoum Bachri: Surat Kepada Penyair Muda
AAM Jelantik, Estetika, Sebuah Pengantar, 1999, Masyarakat Seni Pertunjukan, Bandung Sutjipto, Katjik, 1973, Seni Rupa Sebagai Alat Pendidikan, IKIP Malang
Maulana, Soni Farid, 2008, Apresiasi Dan Proses Kreatif Menulis Puisi, Bandung Sastrowardoyo, Subagio, 2000, Sosok Pribadi Dalam Sajak, Balai Pustaka, Jakarta
Najib, Emha Ainun, 1992, Slilit Sang Kyai, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta
Garrison & Archer, 2004, Model Hubungan Berpikir Reflektif dan Kegiatan Inkuiri, — Undang-Undang No 20, tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional
Akhudiat, 2014, Materi Penulisan Naskah Drama Fragmen Budi Pekerti, Malang
Hidajat, Arif, 2015, Bimbingan Teknis Seni Teater Tradisi Jenjang Pendidikan Menengah, UPT Dikbangkes Jatim, Malang, 2015
Penulis : Rahman El Hakim